Proses berfikir dan berbahasa pada anak
Menurut chaer (2003:243) anak-anak
yang masih berada dalam masa pekanya mudah untuk belajar bahasa. Berbeda dengan
orang dewasa atau orang yang masa pekanya sudah lewat tidak akan mudah belajar
bahasa lain. Apalagi mengganti bahasa yang sudah dinuranikannya dengan bahasa
lain.
Menurut penflield selama tahun tahun
pertama dari kehidupan anak, oyaknya membentuk” unit unit bahasa” yang memcatat
segala sesuatu yang di dengarnya. Unit-unit ini saling berhubungan denga sel
sel syaraf lain yang mengatur kegiatan motorik, berpikir, dan fungsi intelek
lain. Setelah umur enam tahun dan lebih lebih lagi setelah Sembilan tahun, anak
menggunakan unit unit bahasa ini sebagian dasar untuk memperkaya perbendaharaan
kata-kata. Kata-kata baru ini diperoleh atas dasar unit-unit bahasa dan bunyi
yang pernah dicatat otaknya. Setelah umur sepuluh atau duabelas tahun, anak
baru belajar bahasa kedua, ia harus menggunakan unit-unit bahasa yang sama yang
telah dipelajarinya itu.
Penfield menambahkan bahwa anak
tidak lagi meniru bunyi bahasa yang baru itu, tetapi ia menggunakan unit-unit
yang dimilikinya -unit bahsa ibu- dan dengan demikian dia berbicara bahasa baru
itu dengan logat aslinya. Selain itu, dia juga menyusun kata-kata baru itu
dalam kontruksi yang salah.
Anak anak remaja dan orang dewasa
yang belajar bahasa asing, menggunakan unit-unit bahasa yang telah terbentuk
dalam otaknya sejak kecil. Mereka harus melakukan proses terjemahan dalam
otaknya, suatu proses neurofisiologis yang oleh penfield disebut ”belajar secara tidak langsung”.
Anak-anak kecil yang belajar dengan cara ini, misalnya: belajar bahasa inggris
dari guru yang berbahasa Indonesia juga harus melalui proses terjemahan ini.
Tetapi anak-anak yang belajar bahasa keduanya atau ketiga dari guru yang hanya
berbicara bahasa tersebut, dalam konteks ini metode langsung atau “metode ibu” dapat membentuk unit-unit
bahasa kedua dalam otaknya.
Anak yang belajar dua atau tiga
bahasa selama masa peka akan mengucapkan bahasa itu seperti logat gurunya. Bila
dia belajar satu bahasa di sekolah, mendengar bahasa kedua di rumah mungkin
bahasa ketiga di dengar dari pengasuhnya, dengan tidak disadari dia telah
belajar tiga bahasa sekaligus. Ia mengetahui bahwa dengan gurunya dia harus
berbicara menggunakan bahasa pertama, sedangkan dengan orang tuanya dia
berbicara menggunakan bahasa kedua.
Seringkali oarang mengganggap tidak
ada gunanya anak kecil belajar bahasa asing bila tidak digunakan baik di rumah
maupun di antara teman-temannya. Penfield sependapat. Tetapi, walaupun
demikian, ia mengatakan, memang benar anak kecil itu akan lupa kata-kata asing
yang pernah dipelajarinya, akan tetapi setelah remaja atau dewasa ia belajar
lagi bahasa itu atau mengunjungi Negara yang berbahasa itu maka pelajaran
bahasa asing yang pernah diterimanya dan masih tersimpan dalam otaknya akan
menolong menguasai bahasa asing itu dengan cepat.
Pada usia tiga dan enam tahun,
(waktu terbaik untuk belajar bahasa kedua) anak hanya butuh mendengarkan bahasa
atau suatu bahasa diucapkan dengan lancer, wajar, dan baik. Nenek tau kakek,
orang tua, guru kelompok bermain, tetangga, atau pembantu rumah tangga bisa
menjadi guru yang baik. Asalkan mereka hanya berbicara bahasa tersebut dengan
si anak.
Tujuannya tentu saja bukan untuk
membantu anak mempunyai perbendaharaan kata yang kaya dalam bahasa tersebut,
melainkan membentuk dasar unit bahasa tersebut dalam otak yang sedang tumbuh.
Denga demikian, ia bisa menggunakan dasar bahasa tersebut dikemudian hari bila
mempelajari bahasa tersebut di sekolah lanjutan.
Menurut joan beck (2003: 34) orang
tua yang mencoba belajar suatu bahasa (bahasa kedua) bersama sama dengan
anaknya selalu menemukan bahwa anaknya belajar lebih mudah dan cepat dari pada
mereka. Dalam proses belajar, hampir semua anak kecil mengalami gagap dalam
perkembangan bahasa. Ini mungkin terjadi kerena jalan pikirannya mendahului
perbendaharaan kata-kata.
Ada juga yang mengatakan bahwa gagap
ini ada hubunganya denga bagian otak yang mengendalikan fungsi bicara. Biasanya
pada otak kidal, pusat berbicara terletak di bagian kanan otak. Pada orang yang
menggunakan tangan kanan, pusat bicaranya terletak pada bagian otak sebelah
kiri. Menurut toeri ini, gagap akan hilang sedirinya bila sudah jelas anak
menggunakan tangan kiri atau tangan kanan. Gagap ini sering berlangsung lama
pada anak yang tidak mengutamakan penggunaan salah satu tangan atau bila mata
dan kaki atau kaki yang dominan. Gagap juga timbul bila anak kidal dipaksa
menggunakan tangan kanan untuk melakuakan tugas tugasnya.
Tanpa melihat penyebabnya, gagap
yang terjadi pada kebanyakan anak antara umur dua setengah sampai empat tahun
tidak perlu dipersoalkan karena gagap ini akan hilang bila kemampuan anak
menggunakan kata-kata lebih baik (atau mungkin bila pusat bicara di otak sudah
mulai terbentuk).
Tapi bila orang tua terlalu
memperhatikan gagap pada anaknya sehingga anak sadar akan kekurangannya itu,
hal ini justru akan membuat gagapnya menjadi kebiasaan. Misalnya dengan
mengatakan agar ia jangan gagap atau menyuruhnya berhenti sebentar dan berpikir
atau menarik nafas dalam dalam sebelum memulai bicara.
Terlepas dengan masalah sependapat
atau tidak dengan pendapat di atas, yang pasti masalah gagap pada anak ini
harus dihentikan. bagaimana mengatasi anak yang gagap ini ? saran dari joan
beck (2003: 88) patut untuk dipertimbangkan. Menurutnya kita dapat menolong
anak dengan cara berikut: dengarkan dengan penuh perhatian bila anak bicara.
Bila ia tahu bahwa kita betul-betul memperhatikannya, ia tidak akan cepat-cepat
berbicara, dan akan lebih sedikit kemungkinan ia gagap dan tidak akan terlalu
merengek rengek untuk meminta perhatiaan.
Dalam proses belajar bahasa, ada
sejumlah prinsip belajar yang dapat melicinkan jalan menuju keberhasilan
belajar bahasa. Berdasarkan pendekatan tertentu maka prinsip-prinsip belajar
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu prinsip-prinsip belajar yang bersifat
psikologis dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat linguistik (materi dan
metodik). Prinsip-prinsip belajar yang bersifat psikologis, adalah:
1. Motivasi,
lazim diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang
untuk berbuat sesuatu. Maka untuk berhasilnya pengajaran bahasa, murid-murid
sudah seharusnnya dibimbing agar mempunyai dorongan untuk belajar.
atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan
berkesan dari pada mengetahui dari kata orang lain.
merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan
manusia itu menjadi maju. Hubungan dengan belajar bahasa, keingintahuan seorang
anak terhadap bahasa lain akan menyebabkan dia berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mempelajari bahasa tersebut.
4. Pemecahan
masalah,
seorang yang belajar, misalnya belajar bahasa tidak
dapat dipisahkan dengan berbagai macam masalah. Jadi diperlukan kritisan
seseorang tersebut dalam menghadapi
masalah itu dalam mengembangkan pengetahuan, pengalaman, dan sikap.
5. Berpikir
analitis-sintesis
dalam
memecahkan masalah akibat memiliki sifat dan sikap kritis maka perlu
dikembangkan cara berpikir analitis dan sintesis.
6. Perbedaan
individual,
keberhasilan pengajaran bahasa juga harus memperhatikan
adanya perbedaan-pebedaan individual. Sudah menjadi kodratnya bahwa anak didik
yang kiat hadapi tidak mempunyai kematangan berpikir, kemampuan bahasa, dan
tingkat intelegensi yang sama.
Perbedaan Kemampuan Anak dalam Belajar
Bahasa
Setiap anak mempunyai perbedaan baik
dari segi kematangan berpikir, kemampuan berbahasa, maupun tingkat inlegensi.
Oleh karena itu, kemampuan anak tidak sama dalam berbicara, mendengarkan,
membaca, atau pun menulis. Bisa jadi seorang anak pandai berbicara, tetapi
belum tentu ia mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Atau seorang anak
pandai menuliskan ide, gagasan atau pikirannya, tetapi belum tentu ia sanggup
menyampaikannya dengan kata-kata.
Meskipun setiap anak memiliki
kemampuan untuk belajar bahasa, tetapi kemampuan anak dalam belajar bahasa
berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perbedaan itu. jika
dilakukan analisis terhadap sejumlah faktor penyebab perbedaan kemampuan anak
dalam belajar bahasa itu maka secara umum ada dua faktor yang menjadi penyebabnya,
yaitu faktor internal dan faktor eksternal anak. Faktor internal anak adalah umur anak,
kondisi fisik anak, kesehatan anak, dan inteligensi. Faktor eksternal anak
adalah status sosial ekonomi keluarga, hubungan keluarga, lingkungan masyarakat,
dan bahasa pertama. Untuk memudahkan pemahaman, semua faktor-faktor tersebut
akan diuraikan satu demi satu di bawah ini.
1. Umur Anak
Semakin bertambah umur anak semakin
matang pertumbuhan fisiknya, bertambah pengalaman, dan meningkat kebutuhannya. Kemampuan
berbahasa anak akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalaman dan
kebutuhannya. Kematangan fisik dengan semakin sempurnanya pertumbuhan organ
bicara, kerja otot-otot untuk melakukan gerakan-gerakan dan isyarat berpotensi
bagi anak untuk berbicara.
Bertambahnya kemampuan berbahasa
anak sejalan dengan bertambahnya umur anak. Setiap stadium dari perkembangan
yang dilalui anak, terutama sejak anak mampu berbicara, memberikan kekayaan
bahasa yang bervariasi. Kekayaan bahasa itu akan selalu bertambah sejalan
dengan meluasnya interaksi sosial anak.
2. Kondisi Fisik
Kondisi fisik dimaksudkan disini
adalah suatu keadaan, di mana fungsi-fungsi biologis pendukung seperti telinga,
mata, dam organ suara dalam keadaan baik. Baik tidaknya keadaan biologis anak
memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan bahasa anak.
3. Kesehatan
Anak yang sehat, gizinya cukup,
kemampuan perkembangan bahasanya lebih baik daripada anak pada usia awal
kehidupannya mengalami gangguan dalam hal kesehatan. Apabila pada usia dua
tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus maka anak tersebut cenderung
akan mengalami kelambatan atau kesullitan dalam hal perkembangan bahasanya.
4. Inteligensi
Seorang anak dengan anak yang lain
tentu saja mempunyai tingkat inteligensi yang berbeda. Anak yang perkembangan
bahasanya cepat, pada umumnya memiliki inteligensi normal atau di atas normal.
Namun begitu, tidak semua anak yang mengalami kelambatan perkembangan bahasanya
pada usia awal dikategorikan sebagai anak yang bodoh. Berdasarkan hasil
studinya mengenai anak-anak yang mengalami kelambatan mental, Hurlock menemukan
bahwa sepertiga di antara anak-anak yang dapat berbicara secara normal, dan
anak-anak yang berada pada tingkat intelektual yang paling rendah, sangat miskin
dalam penguasaan bahasa.
Soal kecerdasan ini tidak diragukan
pengaruhnya terhadap perkembangan potensi berbahasa seseorang. Untuk meniru
lingkungan tentang bunyi atau suara, gerakan, dan mengenal tanda-tanda,
memerlukan kemampuan motorik yang baik. Kemampuan motorik seseorang berkolerasi
positif dengan kemampuan intelektual atau tingkat berpikirnya.
5. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Beberapa studi tentang hubungan
antara perkembangan bahasa dengan status sosial beberapa keluarga, menunjukkan
bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam
perkembangan bahasanya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang
lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan
atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan
perkembangan bahasa anaknya) atau kedua-duanya.
6. Hubungan Keluarga
Hubungan di sini dimaknai sebagai
proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga,
terutama dengan orang tua yang mengajar, melatih, dan memberikan contoh
berbahasa kepada anak. Menurut Yusuf (2001 : 121) hubungan yang sehat antara
orang tua dengan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya)
memberikan pengaruh yang besar terhadap kemampuan berbahasa anak. Sebaliknya,
hubungan yang kurang baik antara orang tua dan anak menjadi penghalang
terwujudnya komunikasi yang baik.
7. Kondisi Lingkungan
Perkembangan potensi berbahasa anak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena kekayaan lingkungan merupakan pendukung
bagi perkembangan peristilahan yang sebagian besar dicapai dengan meniru sesuai
dengan apa yang anak dengar, lihat, dan yang anak hayati dalam kehidupannya
sehari-hari. Oleh karena itu, siapa pun sependapat bahwa lingkungan sangat
menentukan perkembangan potensi berbahasa anak. Meski begitu, ada perbedaan
peran lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Lingkungan yang
kritis sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak daripada lingkungan
yang kaku. Oleh karena itu, perbedaan perkembangan bahasa karena lingkungan
yang berbeda menyebabkan perkembangan bahasa anak berbeda-beda.
8. Bahasa Pertama
Menurut Chaer (2003 : 256) para pakar pembelajaran
bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa
yang lebih dahulu diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap penguasaan bahasa
kedua (Ellis, 1986:19). Jadi, setiap anak mungkin saja berbeda berkemampuan
berbahasanya, terutama belajar bahasa kedua karena dipengaruhi oleh bahasa
pertamanya.
Hubungan kemampuan Berbahasa dengan Kemampuan berpikir dan Belajar
Bahasa menurut Purwanto ( 1989 :43)
adalh alat terpenting dalam berpikir. Karena memiliki bahasa dan mampu
berbahasa , manusia dapat berpikir. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berpikir.
Karena eratnya hubungan antara bahasa dan berpikir., plato pernah mengatakan
bahwa berbicara adalah berpikir keras ( terdengar) dan berpikir itu adalah
berbicara. Jika , begitu, maka dapat dipastikan bahwa seseorang yang rendah
kemampuan berpikirnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang
logis, baik dan sistematis.
Sampai sekarang orang masih
berkeyakinan bahwa berpikir adalah daya yang paling utama dan merupakan cirri
yang khas membedakan manusia dengan hewan. Manusia dapat berpikir karena mempunyai
bahasa, sedangkan hewan tidak. Bahasa hewan bukanlah bahasa seperti bahasa yang
dimiliki manusia. Bahsa hewan adalah bahsa “insting” yang tidak perlu
dipelajari dan diajarkan. Bahasa manusia adalah hasil kebudayaan yang harus
dipelajari dan diajarkan.
Pengaruh kemampuan berbahsa terhadap
kerja piker memang tidak diragukan sehingga pada akhirnya sampai pada suatu
simpul. Jika ingin memiliki kemapuan berpikir dengan baik maka kuasailah bahsa
dengan baik. dalam konteks realitas, ternyata setiap orang memiliki kemampuan
berbahasa yang bervariasi. Oleh karena itulah, wajar saja kemampuan berpikir
anak berbeda-beda.
Persoalanya sekarang adalah adakah
hubungan antara kemampuan berpikir dan kemampuan belajar anak? jawabanya tentu
saja ada. Hubungan antara berpikir pada pembahsan terdahulu, yaitu pada
pembahsan tentang belajar berpikir. Disitu telah dibahas tentang taraf berpikir
yang bermacam-macam yang dihubungkan dengan macam-macam bentuk pelajaran.
Simpul kata , bahwa ada hubungan yang signifikan anatara taraf berpikir tinggi
kerja piker yang diperlukan.
Bagaimana dengan kemampuan berbahsa
, adakah pengaruhnya terhadap kemampuan belajar anak ? kemampuan anak dalam
berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar. Dalam realitas social
sering ditemukan anak yang mengalami kesulitan belajar karena miskinya
penguasaan perbendaharaan kosakata. Kurangnya penguasaan kosakata menjadi
penyebab sukarnya anak memahami Koran , majalah dan sebagainya. Tidak sedikit
anak yang mengeluh hanya karena sukarnya mengerti apa yang diucapkan oleh guru
dalam kegiatan pembelajaran disekolah, perbedaan bahasa karena perbedaan suku
bia menjadi sebab sukarnya anak membangun komunikasi yang baik dengan orang
lain. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam
belajar.
Contoh studi kasus:
Seorang anak berumur 5 tahun diidentifikasi
mengalami autisme, dimana ia dalam usianya belum dapat melakukan perkembangan
baik secara motorik dan emosional. Kelainan sikap yang dimiliki anak ini mulai
disadari orangtuanya ketika ia berumur 2 tahun, dimana pada saat itu anak
seusianya sudah dapat mulai belajar untuk berbicara, anak ini malah memiliki keterlambatan
kemampuan bicara hingga usianya seperti sekarang ini, semakin bertambah usia,
perilaku anak ini semakin mencurigakan orangtuanya seperti anak ini mulai
seperti memiliki dunianya sendiri, terkadang tertawa sendiri, menangis sendiri
dan marah-marah sendiri, dan anak ini sangat sulit dalam kemampuan kontak mata
dengan lawan bicara, ekspresi wajah anak tidak dapat dengan jelas dimengerti
dan hiperaktif.
Dalam kaitannya dengan kognisi, autis
disebabkan oleh kerusakan area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum
yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood,
sehingga anak penderita autis tidak mampu mengkoordinasikan kemampuan
kognisinya dalam kemampuan berbahasa maupun kemampuan dasar lainnya yang
dimiliki anak normal.
Anak penderita autisme cenderung tidak memiliki
kemampuan berbahasa yang baik, serta tidak berusaha untuk berkomunikasi secara
non-verbal, sering menggunakan bahasa aneh dan berulang-ulang.
Bahasa yang merupakan jembatan antara kognisi dan
perilaku bagi setiap individu tidak dapat melakukan perannya sebagaimana
mestinya pada penderita anak autis, sehingga hasil dari proses kognisi dan
berbahasa yang tidak sebagaimana mestinya, anak autis memiliki taraf kemampuan
yang jauh berbeda dengan usianya. Sebagai contoh anak autis berusia 10 tahun
hanya dapat melakukan kemampuan kognitif dan berbahasa yang dimiliki anak
berusia 5 tahun.