Wednesday, June 24, 2015

Proses berfikir dan berbahasa pada anak

Proses berfikir dan berbahasa pada anak


Menurut chaer (2003:243) anak-anak yang masih berada dalam masa pekanya mudah untuk belajar bahasa. Berbeda dengan orang dewasa atau orang yang masa pekanya sudah lewat tidak akan mudah belajar bahasa lain. Apalagi mengganti bahasa yang sudah dinuranikannya dengan bahasa lain.
Menurut penflield selama tahun tahun pertama dari kehidupan anak, oyaknya membentuk” unit unit bahasa” yang memcatat segala sesuatu yang di dengarnya. Unit-unit ini saling berhubungan denga sel sel syaraf lain yang mengatur kegiatan motorik, berpikir, dan fungsi intelek lain. Setelah umur enam tahun dan lebih lebih lagi setelah Sembilan tahun, anak menggunakan unit unit bahasa ini sebagian dasar untuk memperkaya perbendaharaan kata-kata. Kata-kata baru ini diperoleh atas dasar unit-unit bahasa dan bunyi yang pernah dicatat otaknya. Setelah umur sepuluh atau duabelas tahun, anak baru belajar bahasa kedua, ia harus menggunakan unit-unit bahasa yang sama yang telah dipelajarinya itu.
Penfield menambahkan bahwa anak tidak lagi meniru bunyi bahasa yang baru itu, tetapi ia menggunakan unit-unit yang dimilikinya -unit bahsa ibu- dan dengan demikian dia berbicara bahasa baru itu dengan logat aslinya. Selain itu, dia juga menyusun kata-kata baru itu dalam kontruksi yang salah.
Anak anak remaja dan orang dewasa yang belajar bahasa asing, menggunakan unit-unit bahasa yang telah terbentuk dalam otaknya sejak kecil. Mereka harus melakukan proses terjemahan dalam otaknya, suatu proses neurofisiologis yang oleh penfield disebut ”belajar secara tidak langsung”. Anak-anak kecil yang belajar dengan cara ini, misalnya: belajar bahasa inggris dari guru yang berbahasa Indonesia juga harus melalui proses terjemahan ini. Tetapi anak-anak yang belajar bahasa keduanya atau ketiga dari guru yang hanya berbicara bahasa tersebut, dalam konteks ini metode langsung atau “metode ibu” dapat membentuk unit-unit bahasa kedua dalam otaknya.
Anak yang belajar dua atau tiga bahasa selama masa peka akan mengucapkan bahasa itu seperti logat gurunya. Bila dia belajar satu bahasa di sekolah, mendengar bahasa kedua di rumah mungkin bahasa ketiga di dengar dari pengasuhnya, dengan tidak disadari dia telah belajar tiga bahasa sekaligus. Ia mengetahui bahwa dengan gurunya dia harus berbicara menggunakan bahasa pertama, sedangkan dengan orang tuanya dia berbicara menggunakan bahasa kedua.
Seringkali oarang mengganggap tidak ada gunanya anak kecil belajar bahasa asing bila tidak digunakan baik di rumah maupun di antara teman-temannya. Penfield sependapat. Tetapi, walaupun demikian, ia mengatakan, memang benar anak kecil itu akan lupa kata-kata asing yang pernah dipelajarinya, akan tetapi setelah remaja atau dewasa ia belajar lagi bahasa itu atau mengunjungi Negara yang berbahasa itu maka pelajaran bahasa asing yang pernah diterimanya dan masih tersimpan dalam otaknya akan menolong menguasai bahasa asing itu dengan cepat.
Pada usia tiga dan enam tahun, (waktu terbaik untuk belajar bahasa kedua) anak hanya butuh mendengarkan bahasa atau suatu bahasa diucapkan dengan lancer, wajar, dan baik. Nenek tau kakek, orang tua, guru kelompok bermain, tetangga, atau pembantu rumah tangga bisa menjadi guru yang baik. Asalkan mereka hanya berbicara bahasa tersebut dengan si anak.
Tujuannya tentu saja bukan untuk membantu anak mempunyai perbendaharaan kata yang kaya dalam bahasa tersebut, melainkan membentuk dasar unit bahasa tersebut dalam otak yang sedang tumbuh. Denga demikian, ia bisa menggunakan dasar bahasa tersebut dikemudian hari bila mempelajari bahasa tersebut di sekolah lanjutan.
Menurut joan beck (2003: 34) orang tua yang mencoba belajar suatu bahasa (bahasa kedua) bersama sama dengan anaknya selalu menemukan bahwa anaknya belajar lebih mudah dan cepat dari pada mereka. Dalam proses belajar, hampir semua anak kecil mengalami gagap dalam perkembangan bahasa. Ini mungkin terjadi kerena jalan pikirannya mendahului perbendaharaan kata-kata.
Ada juga yang mengatakan bahwa gagap ini ada hubunganya denga bagian otak yang mengendalikan fungsi bicara. Biasanya pada otak kidal, pusat berbicara terletak di bagian kanan otak. Pada orang yang menggunakan tangan kanan, pusat bicaranya terletak pada bagian otak sebelah kiri. Menurut toeri ini, gagap akan hilang sedirinya bila sudah jelas anak menggunakan tangan kiri atau tangan kanan. Gagap ini sering berlangsung lama pada anak yang tidak mengutamakan penggunaan salah satu tangan atau bila mata dan kaki atau kaki yang dominan. Gagap juga timbul bila anak kidal dipaksa menggunakan tangan kanan untuk melakuakan tugas tugasnya.
Tanpa melihat penyebabnya, gagap yang terjadi pada kebanyakan anak antara umur dua setengah sampai empat tahun tidak perlu dipersoalkan karena gagap ini akan hilang bila kemampuan anak menggunakan kata-kata lebih baik (atau mungkin bila pusat bicara di otak sudah mulai terbentuk).
Tapi bila orang tua terlalu memperhatikan gagap pada anaknya sehingga anak sadar akan kekurangannya itu, hal ini justru akan membuat gagapnya menjadi kebiasaan. Misalnya dengan mengatakan agar ia jangan gagap atau menyuruhnya berhenti sebentar dan berpikir atau menarik nafas dalam dalam sebelum memulai bicara.
Terlepas dengan masalah sependapat atau tidak dengan pendapat di atas, yang pasti masalah gagap pada anak ini harus dihentikan. bagaimana mengatasi anak yang gagap ini ? saran dari joan beck (2003: 88) patut untuk dipertimbangkan. Menurutnya kita dapat menolong anak dengan cara berikut: dengarkan dengan penuh perhatian bila anak bicara. Bila ia tahu bahwa kita betul-betul memperhatikannya, ia tidak akan cepat-cepat berbicara, dan akan lebih sedikit kemungkinan ia gagap dan tidak akan terlalu merengek rengek untuk meminta perhatiaan.

Prinsip-Prinsip Belajar Bahasa
Dalam proses belajar bahasa, ada sejumlah prinsip belajar yang dapat melicinkan jalan menuju keberhasilan belajar bahasa. Berdasarkan pendekatan tertentu maka prinsip-prinsip belajar dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu prinsip-prinsip belajar yang bersifat psikologis dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat linguistik (materi dan metodik). Prinsip-prinsip belajar yang bersifat psikologis, adalah:
1. Motivasi,
lazim diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Maka untuk berhasilnya pengajaran bahasa, murid-murid sudah seharusnnya dibimbing agar mempunyai dorongan untuk belajar.

2. Pengalaman sendiri,
atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan berkesan dari pada mengetahui dari kata orang lain.

3. Keingintahuan,
merupakan kodrat manusia yang dapat menyebabkan manusia itu menjadi maju. Hubungan dengan belajar bahasa, keingintahuan seorang anak terhadap bahasa lain akan menyebabkan dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari bahasa tersebut.
  
     4. Pemecahan masalah,
seorang yang belajar, misalnya belajar bahasa tidak dapat dipisahkan dengan berbagai macam masalah. Jadi diperlukan kritisan seseorang  tersebut dalam menghadapi masalah itu dalam mengembangkan pengetahuan, pengalaman, dan sikap.

      5. Berpikir analitis-sintesis
 dalam memecahkan masalah akibat memiliki sifat dan sikap kritis maka perlu dikembangkan cara berpikir analitis dan sintesis.

       6. Perbedaan individual,
keberhasilan pengajaran bahasa juga harus memperhatikan adanya perbedaan-pebedaan individual. Sudah menjadi kodratnya bahwa anak didik yang kiat hadapi tidak mempunyai kematangan berpikir, kemampuan bahasa, dan tingkat intelegensi yang sama.

Perbedaan Kemampuan Anak dalam Belajar Bahasa
Setiap anak mempunyai perbedaan baik dari segi kematangan berpikir, kemampuan berbahasa, maupun tingkat inlegensi. Oleh karena itu, kemampuan anak tidak sama dalam berbicara, mendengarkan, membaca, atau pun menulis. Bisa jadi seorang anak pandai berbicara, tetapi belum tentu ia mampu menuangkannya dalam bentuk tulisan. Atau seorang anak pandai menuliskan ide, gagasan atau pikirannya, tetapi belum tentu ia sanggup menyampaikannya dengan kata-kata.
Meskipun setiap anak memiliki kemampuan untuk belajar bahasa, tetapi kemampuan anak dalam belajar bahasa berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perbedaan itu. jika dilakukan analisis terhadap sejumlah faktor penyebab perbedaan kemampuan anak dalam belajar bahasa itu maka secara umum ada dua faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu faktor internal dan faktor eksternal anak.  Faktor internal anak adalah umur anak, kondisi fisik anak, kesehatan anak, dan inteligensi. Faktor eksternal anak adalah status sosial ekonomi keluarga, hubungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan bahasa pertama. Untuk memudahkan pemahaman, semua faktor-faktor tersebut akan diuraikan satu demi satu di bawah ini.
            1.  Umur Anak
Semakin bertambah umur anak semakin matang pertumbuhan fisiknya, bertambah pengalaman, dan meningkat kebutuhannya. Kemampuan berbahasa anak akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalaman dan kebutuhannya. Kematangan fisik dengan semakin sempurnanya pertumbuhan organ bicara, kerja otot-otot untuk melakukan gerakan-gerakan dan isyarat berpotensi bagi anak untuk berbicara.
Bertambahnya kemampuan berbahasa anak sejalan dengan bertambahnya umur anak. Setiap stadium dari perkembangan yang dilalui anak, terutama sejak anak mampu berbicara, memberikan kekayaan bahasa yang bervariasi. Kekayaan bahasa itu akan selalu bertambah sejalan dengan meluasnya interaksi sosial anak.
      2. Kondisi Fisik
Kondisi fisik dimaksudkan disini adalah suatu keadaan, di mana fungsi-fungsi biologis pendukung seperti telinga, mata, dam organ suara dalam keadaan baik. Baik tidaknya keadaan biologis anak memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan bahasa anak.
      3. Kesehatan
Anak yang sehat, gizinya cukup, kemampuan perkembangan bahasanya lebih baik daripada anak pada usia awal kehidupannya mengalami gangguan dalam hal kesehatan. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus maka anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesullitan dalam hal perkembangan bahasanya.
      4. Inteligensi
Seorang anak dengan anak yang lain tentu saja mempunyai tingkat inteligensi yang berbeda. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya memiliki inteligensi normal atau di atas normal. Namun begitu, tidak semua anak yang mengalami kelambatan perkembangan bahasanya pada usia awal dikategorikan sebagai anak yang bodoh. Berdasarkan hasil studinya mengenai anak-anak yang mengalami kelambatan mental, Hurlock menemukan bahwa sepertiga di antara anak-anak yang dapat berbicara secara normal, dan anak-anak yang berada pada tingkat intelektual yang paling rendah, sangat miskin dalam penguasaan bahasa.
Soal kecerdasan ini tidak diragukan pengaruhnya terhadap perkembangan potensi berbahasa seseorang. Untuk meniru lingkungan tentang bunyi atau suara, gerakan, dan mengenal tanda-tanda, memerlukan kemampuan motorik yang baik. Kemampuan motorik seseorang berkolerasi positif dengan kemampuan intelektual atau tingkat berpikirnya.
      5.  Status Sosial Ekonomi Keluarga
Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial beberapa keluarga, menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasanya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya) atau kedua-duanya.
      6.   Hubungan Keluarga
Hubungan di sini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orang tua yang mengajar, melatih, dan memberikan contoh berbahasa kepada anak. Menurut Yusuf (2001 : 121) hubungan yang sehat antara orang tua dengan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya) memberikan pengaruh yang besar terhadap kemampuan berbahasa anak. Sebaliknya, hubungan yang kurang baik antara orang tua dan anak menjadi penghalang terwujudnya komunikasi yang baik.
      7.  Kondisi Lingkungan
Perkembangan potensi berbahasa anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan karena kekayaan lingkungan merupakan pendukung bagi perkembangan peristilahan yang sebagian besar dicapai dengan meniru sesuai dengan apa yang anak dengar, lihat, dan yang anak hayati dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, siapa pun sependapat bahwa lingkungan sangat menentukan perkembangan potensi berbahasa anak. Meski begitu, ada perbedaan peran lingkungan dalam mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Lingkungan yang kritis sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa anak daripada lingkungan yang kaku. Oleh karena itu, perbedaan perkembangan bahasa karena lingkungan yang berbeda menyebabkan perkembangan bahasa anak berbeda-beda.
       8.  Bahasa Pertama
     Menurut Chaer (2003 : 256) para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap penguasaan bahasa kedua (Ellis, 1986:19). Jadi, setiap anak mungkin saja berbeda berkemampuan berbahasanya, terutama belajar bahasa kedua karena dipengaruhi oleh bahasa pertamanya.

Hubungan kemampuan Berbahasa dengan Kemampuan berpikir dan Belajar
Bahasa menurut Purwanto ( 1989 :43) adalh alat terpenting dalam berpikir. Karena memiliki bahasa dan mampu berbahasa , manusia dapat berpikir. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berpikir. Karena eratnya hubungan antara bahasa dan berpikir., plato pernah mengatakan bahwa berbicara adalah berpikir keras ( terdengar) dan berpikir itu adalah berbicara. Jika , begitu, maka dapat dipastikan bahwa seseorang yang rendah kemampuan berpikirnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang logis, baik dan sistematis.
Sampai sekarang orang masih berkeyakinan bahwa berpikir adalah daya yang paling utama dan merupakan cirri yang khas membedakan manusia dengan hewan. Manusia dapat berpikir karena mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak. Bahasa hewan bukanlah bahasa seperti bahasa yang dimiliki manusia. Bahsa hewan adalah bahsa “insting” yang tidak perlu dipelajari dan diajarkan. Bahasa manusia adalah hasil kebudayaan yang harus dipelajari dan diajarkan.
Pengaruh kemampuan berbahsa terhadap kerja piker memang tidak diragukan sehingga pada akhirnya sampai pada suatu simpul. Jika ingin memiliki kemapuan berpikir dengan baik maka kuasailah bahsa dengan baik. dalam konteks realitas, ternyata setiap orang memiliki kemampuan berbahasa yang bervariasi. Oleh karena itulah, wajar saja kemampuan berpikir anak berbeda-beda.
Persoalanya sekarang adalah adakah hubungan antara kemampuan berpikir dan kemampuan belajar anak? jawabanya tentu saja ada. Hubungan antara berpikir pada pembahsan terdahulu, yaitu pada pembahsan tentang belajar berpikir. Disitu telah dibahas tentang taraf berpikir yang bermacam-macam yang dihubungkan dengan macam-macam bentuk pelajaran. Simpul kata , bahwa ada hubungan yang signifikan anatara taraf berpikir tinggi kerja piker yang diperlukan.
Bagaimana dengan kemampuan berbahsa , adakah pengaruhnya terhadap kemampuan belajar anak ? kemampuan anak dalam berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar. Dalam realitas social sering ditemukan anak yang mengalami kesulitan belajar karena miskinya penguasaan perbendaharaan kosakata. Kurangnya penguasaan kosakata menjadi penyebab sukarnya anak memahami Koran , majalah dan sebagainya. Tidak sedikit anak yang mengeluh hanya karena sukarnya mengerti apa yang diucapkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran disekolah, perbedaan bahasa karena perbedaan suku bia menjadi sebab sukarnya anak membangun komunikasi yang baik dengan orang lain. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa mempengaruhi kemampuan anak dalam belajar.


Contoh studi kasus:
Seorang anak berumur 5 tahun diidentifikasi mengalami autisme, dimana ia dalam usianya belum dapat melakukan perkembangan baik secara motorik dan emosional. Kelainan sikap yang dimiliki anak ini mulai disadari orangtuanya ketika ia berumur 2 tahun, dimana pada saat itu anak seusianya sudah dapat mulai belajar untuk berbicara, anak ini malah memiliki keterlambatan kemampuan bicara hingga usianya seperti sekarang ini, semakin bertambah usia, perilaku anak ini semakin mencurigakan orangtuanya seperti anak ini mulai seperti memiliki dunianya sendiri, terkadang tertawa sendiri, menangis sendiri dan marah-marah sendiri, dan anak ini sangat sulit dalam kemampuan kontak mata dengan lawan bicara, ekspresi wajah anak tidak dapat dengan jelas dimengerti dan hiperaktif.
Dalam kaitannya dengan kognisi, autis disebabkan oleh kerusakan area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, sehingga anak penderita autis tidak mampu mengkoordinasikan kemampuan kognisinya dalam kemampuan berbahasa maupun kemampuan dasar lainnya yang dimiliki anak normal.
Anak penderita autisme cenderung tidak memiliki kemampuan berbahasa yang baik, serta tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal, sering menggunakan bahasa aneh dan berulang-ulang.
Bahasa yang merupakan jembatan antara kognisi dan perilaku bagi setiap individu tidak dapat melakukan perannya sebagaimana mestinya pada penderita anak autis, sehingga hasil dari proses kognisi dan berbahasa yang tidak sebagaimana mestinya, anak autis memiliki taraf kemampuan yang jauh berbeda dengan usianya. Sebagai contoh anak autis berusia 10 tahun hanya dapat melakukan kemampuan kognitif dan berbahasa yang dimiliki anak berusia 5 tahun.

No comments:

Post a Comment